Jakarta - Asosiasi
Pengembang Menara Telekomunikasi (Aspimtel) memperkirakan harga sewa
menara telekomunikasi pada tahun ini meningkat 10% karena kenaikan harga
bahan baku baja lokal sebesar 15%.
Sekretaris Jenderal
(Sekjen) Aspimtel, Peter Simanjuntak mengungkapkan, saat ini komponen
baja merupakan bahan utama pembangunan menara yang berkontribusi hingga
50%. Naiknya harga baja lokal sebesar 15% akan mempengaruhi pembangunan
menara telekomunikasi terutama di daerah baru
Meningkatnya harga
baja lokal, menurut Peter akan berpengaruh kepada belanja modal dan
biaya operasional perusahaan-perusahaan menara. “Kenaikan harga sewa
menara tidak hanya disebabkan kenaikan harga baja, tetapi juga didorong
kenaikan tarif listrik sebesar 15% dan upah minimum provinsi (UMP) di
beberapa daerah,” paparnya di Jakarta, Rabu (27/2).
Perusahaan menara,
lanjut Peter, diharapkan melakukan negosiasi dengan operator
telekomunikasi yang menjadi penyewa menaranya, supaya terjadi titik temu
soal harga sewa. “Kenaikan harga sewa merupakan hal yang tidak bisa
dihindari. Harga sewa menara akan kembali naik jika harga baja terus
meningkat,” ujarnya.
Saat ini. penyewa
utama menara telekomunikasi adalah operator telekomunikasi. Durasi sewa
operator biasanya 8 tahun-10 tahun, dengan masa perpanjangan hingga 5
tahun.
Permintaan menara baru
setiap tahun mencapai 6.000 unit dan 60% dari permintaan tersebut
didorong dari kebutuhan PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), anak
usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dan PT XL Axiata Tbk
(EXCL). Sementara permintaan menara dari operator code division multiple
access (CDMA) cenderung stagnan.
Sementara itu,Direktur
Marketing Krakatau Steel Irvan Kamal Hakim menuturkan, tekanan produk
baja dari luar negeri cukup besar, misal dari China. Namun, pangsa pasar
KS sampai 2014 di kisaran 65 %, tetap lebih baik dibandingkan Jepang
dan Korea yang hanya menguasai pangsa pasar dalam negeri di negaranya
masing-masing sebesar 35%.
Untuk itu, kata Irvan,
Krakatau berharap pemerintah bisa memberikan perhatian lebih pada
kebijakan baja nasional. Saat ini, meski Krakatau Steel juga memimpin di
pasar ekspor, dari segi persaingan dengan China tetap kalah. Mengapa?
Sebab, China mengeluarkan kebijakan dalam industri strategis.
Irvan memberi contoh,
bagaimana baja khusus untuk menara menara (tower) telekomunikasi (BTS),
harga pabrikasinya lebih murah dibanding bahan baku. "Baja tower (China
itu), sampai pabrikasi di sini tinggal distel, itu harganya bisa lebih
murah dari bahan baku. Bagaimana mungkin? Itu kan, karena ada kebijakan
yang mendukung," kata dia.
Tentunya, Irvan
menambahkan, kuncinya untuk memenangkan pertarungan di sisi ekspor,
harus banyak diungkapkan masalah kebijakan ini dan banyaknya komitmen
perdagangan bebas. Perusahaan baja nasional, PT Krakatau Steel Tbk (KS)
optimis bisa menjadi raja baja di tingkat nasional. Bahkan, dari sisi
penguasaan pasar, Krakatau jauh lebih baik dibanding perusahaan baja
milik negara seperti di Jepang dan Korea.
Direktur Marketing
Krakatau Steel Irvan Kamal Hakim menuturkan, tahun depan, pangsa pasar
KS di Indonesia masih sebesar 65%. Pangsa pasar ini tidak bergerak
dibandingkan tahun ini. "65% itu sampai 2014, karena kita baru ekspansi
2014," kata Irvan.
Andalkan Impor
Pembangunan
infrastruktur menjadi pendorong utama dalam penggunaan besi terlebih
dengan adanya program Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI). Dengan
adanya program pembangunan infrastruktur tersebut, permintaan besi
semakin meningkat. Namun, di kala permintaan semakin meningkat, tidak
satupun produsen lokal bahan baku besi bisa memasoknya.
Hal ini seperti
dikemukakan Ketua Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia (Aplindo)
Achmad Safiun ketika ditemui seusai press conference Pameran Indometal
2013 di Jakarta, Senin (18/2). "Realisasi konsumsi besi baja Indonesia
2012 telah mencapai 9 juta ton. Untuk tahun ini (2013), kami memprediksi
akan tumbuh sekitar 20% lantaran pembangunan yang semakin banyak dan
juga program MP3EI pemerintah turut mendorong penggunaan besi baja,"
ujarnya.
Namun demikian, Safiun
mengatakan bahwa 100% bahan baku baja adalah impor. Pasalnya produsen
lokal tidak mampu memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia untuk
dijadikan bahan baku besi baja. "Dahulu pernah biji besi diolah di
Krakatau Steel (KS) namun KS belum berhasil menjadi barang jadi. Maka
dari itu, hingga sekarang KS belum mampu memprdoksi besi dari mineral,"
katanya. Justru, kata dia, KS hanya memanfaatkan besi-besi tua untuk
didaur ulang sehingga bisa dimanfaatkan kembali.