Jumat, 20 November 2015

Retribusi Menara Dianulir MK, Pemkot Konsultasikan ke Gubernur

 
 

TUNGGU DAPAT IZIN : Retribusi tower telekomunikasi di Tarakan saat ini dikomunikasikan ke Pemerintah Provinsi Kaltara, setelah MK menganulir besaran 2 persen pajak dari NJOP di lokasi tower. Foto : AGOES SUWONDO/RADAR TARAKAN
TARAKAN – Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan akan segera menarik retribusi terhadap menara telekomunikasi di kota ini, setelah sebelumnya pihak Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan keberatan dari perusahaan-perusahaan telekomunikasi terkait keberatan penarikan retribusi senilai dua persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Sebagai informasi, berdasarkan putusan MK nomor 46/PUU-XI/2014, MK mengabulkan sekaligus menghapus Penjelasan Pasal 124 UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) terkait tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi maksimal dua persen dari NJOP.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Tarakan Mohammad Haris mengatakan, berdasarkan keinginan Wali Kota Tarakan, diperintahkan agar instansi ini dapat segera merealisasikan penarikan retribusi tersebut. Kebijakan ini juga tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Jasa Umum.
Pada pasal 2, retribusi pengendalian menara telekomunikasi sebagai salah satu retribusi yang ditarik oleh Pemkot Tarakan.  Dengan nilai 2 persen dari nilai NJOP pajak bumi dan bangunan (PBB) menara telekomunikasi.  Namun perda yang seharusnya sudah dijalankan sejak 2013 lalu, hingga kini belum dapat memberi pemasukan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Hanya saja terkait penarikan senilai  dua persen ini kami anggap tidak rasional, maka diperlukan kajian teknis yang mendalam lagi,” jelas Haris.
Kajian ini dilakukan oleh pihak Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DP2KA) dan Diskominfo. Sejauh ini, kajian sudah dilakukan dan kini memasuki proses pengusulan ke Provinsi Kaltara. “Hasil kajian kami usulkan ke Pemprov Kaltara. Kami juga mendapatkan masukan dari Dirjen Keuangan untuk menggunakan kebijakan gubernur, karena gubernur merupakan perpanjangan tangan dari pusat,” kata Haris.
Namun sebelum melakukan pengusulan, tim yang dibentuk akan melakukan rapat terakhir terkait permasalahan ini, untuk mempersatukan presepsi. “Kami akan mengundang seluruh pihak yang terkait pada saat rapat terakhir,” ucap Haris.
Haris mengatakan, terdapat 92 menara di Tarakan yang dapat dilakukan penarikan retribusi. Kisaran tarif ini berdasarkan tinggi dan rendahnya menara. “Untuk penentuan tarifnya masih akan kami persentasikan ke gubernur, hingga mendapatkan persetujuan,” ungkap Haris.
Dijelaskan Haris, potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tarakan jika berdasarkan NJOP, Tarakan dapat memperoleh Rp 4 juta sampai Rp 7 juta per menara per tahun. “Berdasarkan aturan UU 28 tahun 2009, pasal 152 yang menyebutkan bahwa pengawasan dan pengendalian menara dihitung dengan jumlah pengawasnya. Kalau kemarin dihitung dari NJOP kali dua persen,” tutur Haris.
Sementara itu, Kepala Bagian Hukum Sekretariat Kota Tarakan Dison mengatakan, perda ini sebelumnya diajukan ke MK untuk ditinjau kembali. “Jadi besarannya retribusinya dua persen dari NJOP itu dianggap memberatkan dan tidak sesuai, sehingga diajukan ke MK untuk dilakukan peninjauan ulang,” ujar Dison. “MK sendiri memutuskan bahwa nilai ini memang memberatkan,” tambahnya.
Oleh karenanya, Bagian Hukum Sekretariat Kota Tarakan sedang melakukan konsultasi ke pemerintah provinsi apakah perda retribusi menara telekomunikasi perlu direvisi atau cukup dibuatkan peraturan wali kota. “Pemkot Tarakan sendiri menginginkan perda ini segera rampung dan retribusi menara dapat segera dipungut,” tutur Dison.
Wali Kota Tarakan Sofian Raga juga berharap perda tersebut dapat segera diberlakukan. “Hari ini saya tanda tangani surat ke Pak Pj Gubernur untuk berkonsultasi, agar peraturan ini bisa segera diberlakukan. Kami bukan menunggu Januari tahun depan baru bisa dijalankan. Kalau bisa hari ini, detik ini juga diterapkan.  Hanya kan tidak bisa dan memang butuh proses,” kata Sofian, usai menghadiri rapat di ruang Kenawai Kantor Wali Kota Tarakan, Kamis (5/11).
Salah satu vendor, Pihak PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) yang turut hadir dalam pertemuan tersebut mengaku bersedia membayar retribusi sesuai dengan aturan yang berlaku. “Kalau pembayaran pajak PBB kami rutin. Kalau menara belum, tapi kalau sudah fix peraturannya pasti kami jalankan sesuai peraturan,” ujar Subhan, Manajer Network Service Telkomsel Tarakan. (nri/*/ans/ash)

Formulasi Tak Jelas, MK Hapus Tarif Menara Telekomunikasi

Rabu, 27 Mei 2015 | 09:06 WIB
print this page Cetak    Dibaca: 414101
Menara telekomunikasi. Foto: postel.go.id
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sekaligus menghapus Penjelasan Pasal 124 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD)terkait tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi maksimal 2 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP). Soalnya, selain metode penghitunganya tidak jelas, ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi perusahaan telekomunikasi.

“Mengabulkan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 46/PUU-XI/2014 di Gedung MK, Selasa (26/5).    

Penjelasan Pasal 124 UU PDRD menyebutkan, “Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pelayanan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudian penghitungan tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2 % dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak bumi dan bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut.”

Sebelumnya, PT Kame Komunikasi Indonesia, melalui kuasa hukumnya, merasa dirugikan dengan berlakunya Penjelasan Pasal 124 UU PDRD lantaran praktiknya pemerintah daerah langsung menetapkan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi sebesar 2 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP). Penetapan tarif itu tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian.

Pemohon mencontohkan jika rata-rata NJOP menara itu sebesar satu  miliar rupiah, maka retribusi menara telekomunikasi sebesar Rp20 juta. Padahal, jika tidak menggunakan formula patokan NJOP biaya retribusi ril hanya sekitar 2 juta. Karenanya, pemohon minta Penjelasan Pasal 24 itu diubah menjadi “Penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi. Kebutuhan biaya pengawasan dan pengendalian dapat dijabarkan dalam formula penghitungan tertentu.”

Mahkamah memahami satu sisi penetapan tarif maksimal bertujuan agar tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak berlebihan dan memberatkan penyedia menara dan penyelenggara telekomunikasi. Namun, sisi lain, jika penerapannya di setiap daerah adalah sama, tanpa memperhatikan frekuensi pengawasan dan pengendalian, maka akan menimbulkan ketidakadilan.

“Ketentuan batas maksimal 2 persen yang menyebabkan hampir setiap pemerintah daerah mematok harga tertinggi 2 persen dari NJOP tanpa perhitungan jelas merupakan ketentuan yang tidak adil. Sebab, setiap daerah memiliki karakteristik berbeda-beda. Ini bentuk dikriminasi, memperlakukan sama terhadap hal yang berbeda,” ujar Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams saat membacakan pertimbangan putusan.

MK mengakui menghitung besaran retribusi memang menyulitkan pemerintah daerah. Namun, penetapan tariff maksimal sebagai jalan pintas atas kesulitan menentukan besaran retribusi tindakan tidak adil. Imbasanya, jika perhitungan retribusi tidak jelas, beban retribusi bisa jadi akan dialihkan kepada konsumen.

“Dalam pengenaan pajak, hal yang tidak bisa dihitung, dan penerapannya sulit seharusnya tidak menjadi objek pungutan, karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum,” lanjutnya.

Menurut Mahkamah seharusnya Pemerintah dapat merumuskan formula yang lebih tepat untuk menetapkan tarif retribusi ini yang dituangkan dalam peraturan yang lebih teknis. Dalam hal retribusi ini, pemerintah juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip pemungutan pajak yang meliputi kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan efisiensi.

“Bagaimanapun pengenaan tarif retribusi yang memberikan batas maksimal 2 persen dari NJOP tanpa disertai dengan sistem penghitungan yang jelas justru tidak memberikan kepastian hukum yang akan menyebabkan ketidakadilan dalam penerapannya,” tegasnya.

Ditemui usai persidangan, kuasa hukum PT Kame Komunikasi Indonesia, Radian Syam menyatakan adanya putusan MK berarti beban retribusi sebesar 2 persen dari NJOP atas pengendalian menara telekomunikasi tidak bisa diberlakukan lagi. Atas kekosongan hukum ini, pemerintah diharuskan membuat formula penghitungan yang tepat agar tidak terjadi kesewenang-wenangan daerah dalam menetapkan tarif retribusi menara telekomunikasi.

“Pemerintah harus membuat formula agar hitungannya jelas. Selama ini kan tidak ada hitungan yang jelas, hanya besaran 2 persen, lalu kemudian daerah justru menarik retribusi ini sesuai kebutuhannya,” kata Radian di Gedung MK.

Dirinya pun tidak mempermasalahkan jika ada penarikan tarif retribusi yang baru asalkan formulasi prosentase penetapan tarifnya jelas dan tidak memberatkan. “Kita berharap pemerintah daerah mentaati putusan MK ini hingga ada aturan atau formula baru yang mengatur besaran tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi,” harapnya.


Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt556468f6516ab/formulasi-tak-jelas--mk-hapus-tarif-menara-telekomunikasi