Selasa, 07 Februari 2012

BTS Tanpa Menara untuk Kawasan Padat

Keberadaan 100.000 menara telekomunikasi di Indonesia cukup menyesakkan, apalagi di perkotaan yang cenderung menjadi hutan menara. Bagaimana mungkin masyarakat bisa menerima keberadaan menara kelak, ketika tahun ini akan ada tambahan 10.000 menara?
Menara menjadi prasarana mutlak bagi semua operator telekomunikasi nirkabel, sebagai tempat menaruh antena BTS (base transceiver station) untuk menjangkau pelanggan. Tanpa menara, operator tidak bisa melayani pelanggan yang tersebar di semua pelosok.
Makin tinggi menara tempat menaruh antena BTS, makin jauh jangkauannya. Pancaran antena menara setinggi 42 meter bisa mencapai 2 km sampai 5 km. Menara dengan ketinggian 72 meter lebih, bahkan bisa menjangkau sampai 10 km dan 15 km.
Namun, jangkauan antena harus memperhitungkan berapa kapasitas BTS yang dipancarkannya. Satu sektor antena (umumnya satu menara bisa menggendong 3 antena untuk 3 sektor) berkapasitas 40 kanal, secara teori dapat menyalurkan percakapan 1.000 pelanggan bergantian.
Di kawasan bisnis yang padat, tidak mungkin hanya diliput oleh satu BTS atau 1 menara reguler. Bisa saja di kawasan itu ada 3.000 bahkan lebih dari 10.000 pelanggan. Malahan kalau percakapan berlangsung lama, misalnya saat orang sedang membicarakan detil bisnis, maka makin sedikit pelanggan yang bisa terlayani.
Maka, operator lalu membangun BTS indoor, mikro atau pico, yang jangkauannya hanya 100 meter sampai 200 meter, karena ditempatkan di ketinggian maksimal 15 meter di atas permukaan tanah. Fungsinya untuk mengoperasikan beberapa BTS pendek itu, sekaligus melipatgandakan kapasitas layanan, karena dalam radius 2 km bisa terlayani 10.000 sampai 20.000 pelanggan.
Dua hal penting dalam mengoperasikan menara BTS adalah estetika dan sumber tenaga. Keduanya makin menjadi masalah rumit, antara lain karena pemerintah daerah setempat makin tidak menyukai keberadaan menara yang muncul makin banyak seiring kebutuhan operator. Begitu pula makin mahalnya tenaga listrik yang digunakan untuk mengoperasikan BTS.
Butuh tenaga listrik
Hingga saat ini, BTS konvensional membutuhkan daya listrik sampai 16.500 watt, yang umumnya dicatu dari PLN, atau generator jika tidak tercapai oleh jaringan PLN. Kebutuhan riil untuk operasional BTS hanya sekitar 5.000 watt, bahkan bisa 2.000 watt. Namun sisa tenaga PLN ini digunakan untuk mengisi baterai yang otomatis akan digunakan jika listrik mati.
Keberadaan baterai cadangan tadi sangat penting, mengingat PLN masih sering mati. Umumnya, dengan pengisian setiap hari, baterai yang tahan sampai dua tahun itu bisa menggantikan peran PLN selama enam sampai delapan jam.
Pemikiran mengurangi peran PLN – apalagi jika sumber pasokan PLN batu bara atau minyak bumi yang suatu kali cadangannya akan habis – adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam yang murah dan tak akan habis. Banyak BTS kini menggunakan sumber tenaga alam lain, semisal angin, tenaga surya atau tenaga air (mikrohidro) yang persediaannya melimpah dan tidak mengakibatkan polusi (BTS hijau).
Angin menggerakkan baling-baling atau turbin pada mikro hidro yang kemudian memutar generator listrik. Demikian pula sinar surya dengan panel-panel sel surya menghasilkan listrik. Karena sumber tenaga angin yang memang ‘angin-anginan’, begitu juga matahari yang ketika mendung atau malam hari tidak memancarkan sinar, maka tenaga yang masuk disimpan dalam baterai-baterai. Tenaga ini digunakan ketika angin sedang tidak berembus atau matahari tidak muncul.
Panel sel surya sangat cocok untuk digunakan di daerah khatulistiwa seperti negeri kita, yang siangnya terang benderang selama 365 hari setahun. Sementara tenaga angin hanya bisa didapat misalnya di daerah pantai atau puncak-puncak bukit yang anginnya kencang. Adapun mikro hidro membutuhkan tenaga air terjun atau aliran yang sangat deras, yang pasti tidak akan tersedia di dataran yang rata. Harus di pegunungan dengan pasokan air yang stabil.
Penggunaan tenaga angin, sel surya atau mikro hidro tersebut, diimbangi oleh makin efisiennya BTS karena makin sedikitnya kebutuhannya akan tenaga listrik. Jika semula dibutuhkan 16,5 KVA (kilovolt ampere), kini satu BTS jenis baru hanya membutuhkan listrik di bawah 2.000 watt saja.
Namun untuk mendapat listrik 2.000 watt, Telkomsel misalnya, harus membangun panel sel surya seluas sedikitnya 150 meter persegi. BTS pico atau mikro, atau BTS indoor yang dioperasikan oleh Telkomsel hanya membutuhkan listrik tidak sampai 1.000 watt. Sementara lampu jalan hanya butuh panel sel surya seluas tak sampai satu meter persegi, untuk menyalakan lampu 100 watt sampai 200 watt.
Telkomsel sudah memanfaatkan ratusan BTS hijau di seluruh Indonesia. BTS-BTS ini tidak hanya dioperasikan di kawasan yang belum atau sulit terjangkau PLN atau generator listrik. Di perkotaan pun, BTS hijau sudah dioperasikan.
Antena yang disamarkan
Dewasa ini, banyak pemerintah kota atau kabupaten yang tidak lagi mengeluarkan izin mendirikan menara telekomunikasi baru, karena jumlahnya dinilai sudah melewati batas toleransi estetika dan keamanan sekitar. Keberadaan menara sudah mulai merusak keindahan kota, karena bentuknya yang kaku dan sangat tidak indah saat berdiri di taman atau di samping gedung di tengah kota. Selain itu BTS konvensional membutuhkan bangunan pelindung (shelter) yang luasnya antara 3×4 meter atau 2×3 meter.
Pemerintah DKI Jakarta bahkan mengancam akan menebang lebih dari 1.700 menara telekomunikasi yang ada di daerahnya, karena mata orang Jakarta sudah mulai “sepet” melihat di mana-mana ada menara. Dari 2.500 menara yang pernah diberi izin mendirikan bangunan (IMB), hanya 800-an yang boleh tetap berdiri. Sisanya diminta ditebang dan BTSnya digabung dengan menara yang masih boleh berdiri.
Bukan hanya DKI, banyak pemerintah kota atau kabupaten yang tidak lagi memberi IMB, padahal operator tetap saja butuh menara untuk BTS, dalam upaya makin menyebarkan layanan mereka. Akibatnya kini tumbuh menara-menara kecil berbentuk tiang (pole) yang dipasang di atap-atap ruko (rumah toko) atau menara mesjid, karena pendirian tiang setinggi 6
meter atau kurang tidak perlu IMB.
Di Bali, sejak lama ada larangan mendirikan menara melebih tinggi pura atau lebih tinggi dari pohon kelapa. Pembangunan menara yang lebih tinggi untuk MSC (master switching center) atau BSC (base switching controller) bisa dilakukan dengan izin yang didapat dengan sulit.
Beda dengan DKI Jakarta, pemerintah Kabupaten Badung, Bali, menebang hampir semua menara dan mewajibkan operator menyewa menara yang dibangun perusahaan tertentu. Menara-menara yang dibangun itu kemudian menjadi menara yang digunakan bersama beberapa operator sekaligus.
Kecenderungan tiap pemerintah di daerah untuk tidak mengeluarkan IMB menara, membuat para operator dibantu vendor teknologi membangun BTS yang tidak membutuhkan menara. Di Bali, PT Telkomsel sudah membangun beberapa BTS yang antenanya disamarkan keberadaannya, karena ditempelkan atau ditumpangkan di tiang listrik, tiang lampu atau di papan iklan (billboard). Antenanya bahkan juga dalam bentuk pepohonan, misalnya cemara atau pohon kelapa. Antena yang digunakan pun bukan lagi berbentuk kotak panjang yang beratnya puluhan sampai 100-an kilogram, melainkan satu kotak
tipis dan ringan hanya 2 kg, sehingga tidak terlalu menyolok.
Menurut GM Network PT Telkomsel di Regional Bali Nusa Tenggara, Ktut Susila Dharma, antara sekitar Bandara Ngurah Rai dan Kuta sampai Krobokan, rencananya akan ada 36 BTS tanpa menara. Hingga awal Februari sudah terbangun 12 BTS. Di
seluruh kawasan padat yang mengandung masalah dalam perizinan, nantinya akan dibangun BTS yang disamarkan.
BTS seperti yang sudah dibangun di Bali itu, selain ringan juga irit tenaga listrik, hanya sekitar 200 watt. Di sekitar Bandara Ngurah Rai ada dua BTS yang ditempelkan di tiang PLN dan di papan iklan (billboard). Dua BTS ini dibangun karena menara BTS di sekitar jalan ke Uluwatu dekat Bandara ditebang pemerintah Kabupaten Badung.
Penebangan ini membuat komunikasi terputus (drop call) sepanjang beberapa puluh meter. Maka, solusi paling tepat adalah membangun BTS pico. BTS jenis ini bisa menjangkau radius sampai 200 meter sehingga tidak terjadi lagi drop call di sekitar ujung timur bandara.
Tidak hanya di Bali, Telkomsel juga akan membangun BTS tanpa menara yang ditempelkan di tiang PLN, lampu penerangan jalan, pepohonan, billboard, pintu perlintasan kereta api atau di rambu lalu lintas di seluruh kawasan padat Nusantara. Berbeda dengan BTS konvensional, BTS semacam ini tidak dilengkapi antena piring untuk berhubungan dengan BSC, tapi lewat serat optik ke BTS donor.
Beda dengan shelter konvensional, BTS tanpa menara hanya berukuran 1x1x2 meter yang komplet berisi radio unit, UPS, pendingin udara dan baterai cadangan. BTS yang diciptakan Alcatel-Lucent ini hanya sebesar kotak sabun.
Kata orang, beberapa operator tidak merasa perlu meminta izin ketika membangun BTS dan memasang antena di billboard atau tiang PLN. “Kami tetap meminta izin ke Pemerintah Kabupaten Badung,” kata Ktut Susila Dharma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar