Kamis, 12 Maret 2015

CEO Talk: Helmy Yusman, Direktur Keuangan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG)

CEO Talk: Helmy Yusman, Direktur Keuangan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG)

Reporter: Corry Anestia, Syakur UsmanEditor: Syakur UsmanSenin 23 Juni 2014, 05:19:00
Industri menara telekomunikasi di Indonesia sangat ditopang oleh operator telekomunikasi seluler. Oleh karena itu, naik turun bisnis emiten menara, bisa dikatakan bergantung dari  ekspansi tidaknya jaringan operator. Menara sendiri  merupaka media utama sebagai tempat stasiun pemancar atau based transceiver statins/BTS  operator seluler.

Untungnya, jumlah operator seluler Indonesia termasuk yang besar di dunia dengan sekitar delapan operator. Belum lagi operator baru penyedia layanan internet cepat.
Namun saat ini industri seluler Indonesia berada dalam tahap mature dengan pertumbuhan single digit. Hal ini tentu mempengaruhi bisnis menara telekomunikasi. Untuk mengetahui prospek industri menara telekomunikasi di Indonesia dan rencana kerja perseroan, tim IFT yang terdiri dari Edhie Pranasidhie, M Syakur Usman, Corry Anestia, dan fotografer Dinul Mubarok, berbincang-bincang dengan Helmy Yusman Santosa, Direktur Keuangan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) saat melakukan media visit ke kantor IFT, beberapa waktu lalu. Perseroan adalah pemain besar di bisnis menara telekomunikasi dengan umah penyawa lebih dari 10 ribu. Berikut petikannya: 

Bagaimana gambaran bisnis menara perseroan?
Kami menawarkan infrastruktur menara untuk seluruh operator telekomunikasi di Indonesia. Bisnis modelnya, kami membelanjakan modal di awal untuk membangun menara. Kemudian kami dapat order sewa menara dari operator. Mereka cukup memberitahu titik koordinat lokasinya, dan kami akan cari lahannya. Setelah itu, kami akan terbitkan PO. Untuk kontrak sewa, waktunya berkisar hingga 10 tahun. Sistem pembayarannya bervariasi, bisa tiga bulan sekali atau bayar di muka.

Mengapa bisnis menara menarik bagi perseroan?
Stake holder sangat menyukai bisnis ini, karena skema bisnisnya adalah melakukan belanja modal di depan, untuk kemudian disewakan kepada operator. Jika sudah memiliki volume dan portofolio bisnis yang bagus, laba sebelum biaya bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi/EBITDA tidak bisa turun. Kenapa? Karena pendapatan  pada Januari minimal sama dengan Desember. Jumlah menara juga tidak akan berkurang, karena semua sudah dalam kontrak jangka panjang. Bisnis ini sangat predictable.

Salah satu kunci sukses bisnis ini adalah rasio kolokasi (tenancy ratio). Semakin tinggi rasionya, semakin bagus bagi perseroan. Saat ini rasio kolokasi kami sekitar 1,7 kali. Kami ingin rasio itu dapat naik sebanyak mungkin selama satu tahun ini.

Bagaimana proyeksi kinerja perseroan di kuartal II?
Masih cukup strong, karena ada permintaan tinggi dari telekomunikasi. Di kuartal II, kami harapkan penyewa/tenancy bisa lebih tinggi dari capaian di kuartal I yang 700tenant.

Saat ini tenant yang paling agresif adalah PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel). Sedangkan operator lainnya agresif pada kolokasi saja, seperti PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) atau PT Internux (Bolt).

81% tenant kami berasal dari operator besar, yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), , PT XL Axiata Tbk (EXCL), dan PT Indosat Tbk (ISAT). Portofolio eksposure revenue kami paling bagus. Makanya rating kami paling bagus di industri.

Berapa target tenancy ratio perseroan tahun ini?
Pada 2010 tenancy ratio atau rasio kolokasi/penyewa kami sempat mencapai 2 kali. Jika kami stop pembangunan menara, rasio kolokasi pasti naik. Namun kami tidak ingin stop pembangunan menara. Kami terus ingin meningkatkan kapasitas, agar jumlah menara kami terus bertumbuh.

Pada 2013, kami memiliki 2.900 tenant, dengan 2.000 berupa menara dan sisanya adalah kolokasi. Kini hingga kuartal I 2014, kami memiliki 17.222 tenant dengan 10.502 site. Rencana kami tahun ini adalah menambah 3.300 tenant.
Investasi membangun satu negara rata-rata Rp 1 miliar-Rp 1,2 miliar per menara. Biaya itu termasuk sewa lahan selama 10 tahun dan biaya maintainance. Namun biaya pembangunan menara di setiap lokasi berbeda, baik di kota besar maupun remote area. Di kota besar, harga tanahnya mahal, tapi menaranya tidak tinggi. Sedangkan di remote area, harga tanahnya murah, tapi biaya menara mahal karena harus tinggi.

Sampai Juni, berapa kontrak menara yang habis dan akan diperpanjang?
Rata-rata tenor sewa menara kami masih panjang, per Juni masih 8 tahun. Dan 100%, penyewa menara kami  memperpanjang lagi masa sewanya, karena jika operator pindah menara, sangat merepotkan. Jadi di atas 99% sewa menara kami pasti diperpanjang.

Apakah perseroan berencana mengakuisisi menara milik operator seperti mengakuissi 2.500 menara Indosat?

Kinerja kami tidak selalu tumbuh berdasarkan tenant, justru ada hal lain. Bagi kami, menambah dan mengakuisisi menara adalah dua strategi utama. Makanya, margin kami meningkat terus, karena kami sudah mencapai economy of scale. Saat ini baru ada dua perusahaan menara yang memiliki site lebih dari 10.000 unit.

Memang jika membangun sendiri, biayanya lebih murah. Namun waktu pengerjaannyalama, karena butuh waktu 4 bulan konstruksi. Sedangkan akuisisi menara, cepat hasilnya, tapi harganya sedikit premium.

Misalnya saat kami mengakuisisi 2.500 menara milik Indosat pada 2012. Lokasi menaranya sangat bagus di lokasi prime. Dan sekarang membangun menara di lokasi prime seperti di Menteng dan Kemayoran sudah sulit.

Apakah tertarik  mengakuisisi menara PT XL Axiata Tbk (EXCL) yang akan melepas sekitar 10.000 menara?

Kami tentu saja tertarik. Hanya saja belum ada penawaran dari XL, termasuk harga jualnya. Sebenarnya banyak pertimbangan, ketika ingin mengakuisisi menara. Pada 2009, kami adalah kandidat paling bagus. Tapi waktu itu valuasi tidak maksimal, karena ada krisis moneter kecil, sehingga beberapa komponen naik juga, seperti suku bunga.

Di industri telekomunikasi, ada dua pilihan menjual menara sekaligus atau terpisah. Jual terpisah itu risikonya lebih kecil. Sebab jual menara itu karakternya bukan jual beli putus. Siapa pun yang beli, aset ini masih ada 20-30 tahun ke depan. Makanya, akuisisi itu tidak gampang. Operator pasti melakukan due dilligence kami, karena ketika mereka jual menaranya, pasti akan disewa lagi.


Bagaimana proyeksi industri menara Indonesia di masa depan?
Industri telekomunikasi saat ini masih bertumbuh agresif, sejalan dengan peningkatan layanan seluler data. Sebab industri telekomunikasi untuk sampai pada kualitas memadai, mereka masih membutuhkan puluhan ribu menara baru. Perkiraan kami, ada 50 ribu menara dalam lima tahun ke depan. Apalagi sekarang operator sedang mendorong layanan data, karena ada proses migrasi pelanggan dari teknologi 2G ke 3G. Jadi kebutuhan menara masih tinggi di masa depan.

Memang coverage jaringan tidak hanya dapat dijangkau dengan pemasangan BTS di menara. Bisa juga melalui satelit. Namun perlu diketahui bahwa lapisan atmosfer kita terlalu bagus, sehingga sinyal sulit terjangkau. Sebelum kami masuk ke bisnis menara ini, kami pelajari business risk-nya. Amerika Serikat dan Eropa saja masih membangun menara untuk mengirim sinyal.


Industri ini bersifat capital intensive, berapa utang yang dihedge?

Kami lakukan hedging 100%. Begini, kami ada revenue dolar dan rupiah. Kalau kami punya funding dolar  untuk mendapat untuk revenue rupiah, kami hedging semua. Namun kami juga punya revenue dolar, seperti saat kami dapat dari Indosat, sehingga otomatis sudah natural hedge.

Pada 2010, kami sempat memiliki utang ratusan juta dolar yang dihedge pada kurs Rp 8.600. Saat ini kalau hedging kami di cash in, kami bisa mendapat Rp 900 miliar, Tapi kami tidak mau seperti itu, kami tidak mau spekulatif. Kami ingin pembayaran bunga pokok pinjaman kami di-hedge.

Ada rencana serius untuk pengembangan jaringan kabel fiber optic?

Kami belum ada rencana sewa fiber optic ke ritel atau business, ini cuma ada additional value saja buat operator. Jadi antarmenara, jika disambungkan dengan fiber optic, pasti kualitasnya jauh lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar