Kamis, 12 Maret 2015

Kolom Telematika Isu Krusial Telekomunikasi Indonesia 2015

Kolom Telematika

Isu Krusial Telekomunikasi Indonesia 2015

Penulis: Dimitri Mahayana - detikinet
Jumat, 23/01/2015 10:50 WIB
Halaman 1 dari 4
http://images.detik.com/content/2015/01/23/328/dimitri460.jpgDimitri Mahayana (dok.pribadi)
Jakarta - Hampir sebulan sudah tahun 2015 ini kita lewati. Bagaimana kita melewatinya dengan penuh makna, tentu bergantung bagaimana kita menginterpretasi kejadian lalu-lalu untuk dijadikan pegangan dan atau dasar kebijakan di hari ini dan masa depan.

Prinsip ini juga berlaku dalam bidang teknologi informasi komunikasi (TIK). Bagaimana hingar bingar tahun lalu, betapa ramainya pergerakan TIK sepanjang 2014, seyogyanya menjadi dasar kita dalam berbuat sepanjang tahun kambing kayu ini.

Mengacu berbagai riset yang dilakukan Sharing Vision, sedikitnya terdapat dua isu krusial TIK Indonesia 2015, terutama pada sektor telekomunikasi. Pertama, margin operator telekomunikasi Indonesia pada tahun ini akan turun!

Tren yang menggambarkan ini terlihat dalam pendapatan operator triwulan I-III 2014, dimana laba operator sebelum biaya bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) terus menurun yang utamanya disebabkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Pendapatan XL Rp 6,3 triliun (turun 400 basis poin), Indosat Rp 7,6 triliun (turun 190 basis poin), dan Telkomsel Rp 26,8 triliun (23 basis poin). Situasi tahun ini diproyeksikan akan berlanjut dikarenakan potensi penggerus lebih besar daripada potensi pertumbuhan.

Hal yang mereduksi potensi adalah makin ketatnya kompetisi (hypercompetition) yang terkadang tak masuk akal, tingginya biaya pemasaran, dan yang utama adalah adanya pegeseran konsumsi pengguna yang banyak ke data dari suara atau SMS.

Di sisi lain, penulis memproyeksikan terjadinya Free Cash Flow (FCF) dalam posisi minimal atau negatif karena tingginya belanja modal dalam mengembangkan jaringan 3G atau 4G. FCF ini tentu saja dalam usaha mengakomodir tren perubahan adopsi layanan data.

Sayangnya, nilai margin dari layanan data tak seseksi layanan suara dan SMS. Pasalnya, 'aktor' utama layanan data ini adalah para pemain over the top(OTT), yang hingga sekarang menuai rizqi banyak namun masih belum berkontribusi yang riil ke operator. 

Kita ketahui bersama OTT terus menerjang, memungkinkan siapapun kolaps cepat, sebab kebutuhan bandwith yang diinisiasi OTT terus naik namun potensi rugi malah membesar. Operator telekomunikasi terpaksa investasi dalam jumlah besar, namun pendapatan yang didapatkan malah tertekan.

Seluruh jaringan infrastruktur telekomunikasi yang dibangun operator terdegradasi menjadi pipa, dan OTT bebas mengelola isinya, menembus batas-batas negara, bahkan boleh dibilang imun terhadap pajak dan implikasi hukumnya.

Data global yang dihimpun Sharing Vision menunjukkan relasi fakta. Diperkirakan dari 1,6 miliar pengguna smartphone di dunia tahun 2013, sebanyak 1 miliar di antaranya pengguna OTT. Dari 3,1 miliar pengguna smartphone di dunia tahun 2017, 2,1 miliar pengguna OTT.

Dalam sebuah riset tahun 2013 lalu, 43% operator melihat Skype sebagai ancaman utama. Profil Skype saat ini adalah 280 juta user aktif (2013) dengan total penggunaan 2 miliar menit per hari (7 menit per hari per user) yang setara 730 miliar menit per tahun (2.555 menit per tahun per user). 

Dengan kondisi seperti ini, Skype membebani operator telekomunikasi dunia sekitar Rp 1,2 triliun per hari (Rp 438 triliun per tahun). Pergeseran layanan voice dan messaging ke OTT seperti WhatsApp, Line, Skype dan lainnya ternyata sudah dirasakan dampaknya oleh industri operator seluler dunia. 

Bisnis voice diperkirakan turun dengan CAGR -2,5 %, sedangkan SMS -4,2 %. Riset lain menyebut jika YouTube saat ini menyumbang setidaknya kira-kira 24% global mobile trafik. Kita lihat gambaran besarnya di dunia dalam tabel di bawah ini:




Situasi ini otomatis membuat operator telekomunikasi -- di luar Telkomsel, Indosat, dan XL -- alias operator lapis kedua memiliki pilihan tetap di industri dengan melakukan merger atau keluar. Sinyal ke sana terlihat dengan rencana merger Esia dengan Smartfren yang terdengar di tahun lalu.

Namun demikian, di tengah berbagai prediksi tekanan tadi, penulis merekomendasikan langkah progresif agar kinerja tetap baik, sehingga target pertumbuhan tetap terjaga.

Misalnya XL diprediksi bisa peroleh pendapatan Rp 26,7 triliun dan laba Rp 1,409 triliun, sementara pendapatan Telkomsel layanan mobile broadband tumbuh 32,9%, digital services 28,4 %, Trafik data 146,1%, dan seterusnya.

Kedua, operator telekomunikasi bisa bertindak progresif antara lain dengan mengadopsi secara tepat budaya baru (terutama di perkotaan) yakni kesediaan masyarakat dalam membeli perangkat elektronik, konten, dan layanan digital.

Jika selama ini selalu ingin gratisan, seiring dengan naiknya kebutuhan dan kualitas, maka sejumlah masyarakat sudah bersedia membeli konten digital. Hasil survei Accenture Digital Consumer tahun 2014 kepada 1.000 pengguna internet usia 14 sampai dengan 55 tahun di kota Indonesia menunjukkan hal itu.

Mereka bersedia membeli konten berupa video klip, menonton acara TV atau video, mengakses konten olahraga, film 3 dimensi, mengakses sosial konten, bermain game, mengakses berita, melihat foto dan video personal, hingga merasa tak masalah jika harus membeli buku digital.

Juga, konsumen di Indonesia bersedia berbagi data pribadi tambahan dengan provider apabila diberikan imbalan berupa diskon atau layanan tambahan. Di sisi lain, seperti riset Ericsson ConsumerLab pada 23 negara di dunia kepada 23.000 responden tahun 2014, menunjukkan hal lain.

Yakni TV streaming kini telah digunakan oleh 75% dari responsen beberapa kali dalam seminggu, mendekati angka 77% yang didapatkan oleh TV konvensional (data global). 

Di Indonesia, persentase pengguna TV streaming lebih tinggi lagi yaitu 95%, melewati persentase TV konvensional di 90%. 

Sementara itu, di Indonesia, rata-rata orang menghabiskan waktu 6-7,5 jam untuk menonton video dari smartphone dan tablet dalam seminggu. Mereka meminta spesifikasi video kualitas HD (71%), terjemahan Bahasa Indonesia (69%), film terbaru (65%), dan bebas iklan (62%).

Untuk itu semua, sebagian besar pengguna internet di Indonesia rela membayar lebih untuk mendapatkan koneksi lebih cepat dan bisa diakses kapan saja, dimana saja. Prakteknya, layanan data operator telekomunikasi pada umumnya masih banyak dikomplain! 

Sebanyak 94% responden merasa terganggu kecepatan yang tak stabil, 85% merasakan kecepatan tak ideal kala menonton konten video, sehingga 85% dari pengguna internet di rumah dan 84% pengguna mobile mau membayar lebih untuk koneksi internet yang lebih cepat dan lancar.

Itulah salah satu kesempatan emas operator telekomunikasi Indonesia tahun ini. Bagaimana memadukan resiko dengan peluang dalam sebuah tindakan terukur, cepat, profesional, dan menguntungkan semua pihak. 

Mungkin ini juga bisa jadi akhir pricewar layanan data yang bisa membuat masyarakat Indonesia lebih nyaman ke depannya. (Bersambung) 

*) Penulis, Dr. Dimitri Mahayana merupakan chairman Lembaga Riset Telematika Sharing Vision/ www.sharingvision.com, bisa dihubungi di dmahayana@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar