Rabu, 27 Juli 2011

BTS, Mengatur Barisan

DI NEGERI ini, jarang ada pembangunan yang sangat pesat selain pembangunan menara BTS (base transceiver station). Bayangkan saja, 15 tahun silam, jumlah BTS mungkin baru sekitar 10 unit. Kini, ada 35 ribu BTS bertebaran di pelosok negeri. Sejumlah kota mungkin akan menjadi hutan menara baja jika pembangunan BTS tetap dibiarkan seperti sekarang. Itu sebabnya pemerintah berniat merilis regulasi pembangunan serta pengelolaan menara BTS, akhir tahun ini juga.
Basuki Yusuf Iskandar, Dirjen Postel Departemen Kominfo, menegaskan bahwa beleid tentang pembangunan serta pengelolaan menara BTS itu akan diundang-undangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Kominfo. Jadi, nantinya, pembangunan BTS akan dibatasi. Yang sudah ada pun pemanfaatannya akan dioptimalkan.
Beleid itu memang merupakan sebuah kebutuhan. Tanpa itu, besar kemungkinan jumlah menara BTS akan membengkak. Indra Gunawan, Sekjen Asosiasi Pengembang Infrastruktur Menara Telekomunikasi (Aspimtel), menduga kebutuhan BTS akan mencapai 43 ribu menara pada tahun depan. Sebab, kala itu, pengguna ponsel diperkirakan bakal meningkat menjadi 65 juta pelanggan.
Padahal, pembangunan menara BTS secara jorjoran macam begitu jelas merupakan pemborosan. Membangun menara memang tidak murah. Biaya investasi untuk satu menara sedikitnya mencapai Rp 1,5 miliar—termasuk untuk pembebasan tanah yang rata-rata mencapai Rp 600 juta. Di Hong Kong atau di kebanyakan negara lain, satu BTS bisa dipakai oleh sejumlah operator seluler. Bahkan, stasiun televisi atau radio juga bisa ikut menumpang. Sungguh amat efisien. Di sini, kebanyakan BT eksklusif milik satu operator.
Nah, beleid yang akan dibuat oleh kantornya Pak Sofyan Djalil itu berusaha mengubah kebiasaan boros tadi. Jadi, nantinya, satu menara bisa digunakan bersama, minimal oleh empat operator—termasuk stasiun televisi. Jadi, operator tak perlu lagi boros tanah. Apalagi, kata Basuki, banyak kritik dari masyarakat lantaran pembangunan menara BTS di wilayah perumahan kerap mengganggu mereka.
Lalu, apa lagi yang akan diatur dalam beleid soal menara tadi? Banyak juga, rupanya. Basuki menjelaskan, saat ini Ditjen Postel tengah membahas rincian beleid tersebut bersama para stakeholder—mulai dari operator seluler, stasiun televisi, hingga sejumlah pemerintah daerah. Nantinya, akan diatur soal standardisasi serta kriteria pembangunan dan pengelolaan menara BTS. Ada standardisasi konstruksi menara, ketinggian menara, jarak antar-BTS seluler, serta posisi penangkal petir.
Standardisasi jelas penting. Soal standar konstruksi, misalnya. Hal itu perlu diperhatikan untuk menjaga kekuatan menara dari terpaan angin serta kemungkinan gempa. Selain itu, ketinggian dan lokasi menara juga harus diatur agar tidak mengganggu tata kota. Pengaturan jarak antar-BTS ditujukan untuk mengisolasi frekuensi antaroperator supaya tidak terjadi interferensi antaroperator.
Yang menjadi masalah, bagaimana mengaplikasikan aturan itu nantinya? Sebab, saat ini saja jumlah menara BTS sudah amat bejibun. Tercatat, dari sekitar 35 ribu menara itu, Telkomsel memiliki 14.500 lebih menara, sedangkan Indosat mempunyai 11 ribu menara. Lantas, PT Excelcomindo Pratama memiliki 4.500 menara. Setelah itu, ada pula Komselindo dan Metrosel (keduanya memiliki 700 menara secara bersama), Bakrie Telecom (406), Natrindo (271), Sampoerna (270), dan Hutchinson (64). Sebagian besar menara-menara tadi berlokasi di Ibu Kota dan di sejumlah kota besar di pulau Jawa.
Celakanya lagi, sebagian dari menara baja tadi berdiri tanpa izin. Basuki, yang juga Ketua BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia), menegaskan bahwa para operator seluler maupun perusahaan anggota Aspimtel memang acap mengabaikan peraturan. Bahkan DPRD DKI Jakarta, pekan lalu, sempat meminta Dinas Pengawasan dan Penataan Bangunan Pemprov DKI Jakarta untuk menertibkan ratusan menara BTS yang belum memiliki izin. Saat ini, dari total 1.500 menara di Jakarta, ada sekitar 200 lebih yang tidak memiliki izin. Untunglah, untuk masalah ini, Gubernur Sutiyoso masih berbaik hati. Pemprov DKI memberikan kelonggaran bagi operator seluler untuk mengurus perizinan.
Namun, sikap Pemkab Tasikmalaya justru lain. Belum lama ini, kabupaten di provinsi Jawa Barat itu dikabarkan telah merobohkan tiga menara BTS milik operator seluler lantaran tidak memiliki IMB (izin mendirikan bangunan).

ADA YANG MAU AKAL-AKALAN
Boleh jadi, kesembronoan itu terjadi lantaran pembangunan menara BTS dianggap bisnis yang sangat menggiurkan. Bayangkan saja, dengan modal Rp 1,5 miliar, sebuah menara bisa balik modal dalam tempo delapan tahun. Padahal, menurut Amal Syahrial, Manajer Operasional PT Pandu Sarana Global (perusahaan yang bergerak di bidang penyewaan menara BTS), masa kontrak sewa yang umumnya diterapkan pemilik menara minimal selama 10 tahun per periode. Biasanya, penyewa itu suka memperpanjang masa sewanya.
Amal juga menegaskan, tarif sewa yang dikenakan perusahaannya untuk satu menara bisa mencapai Rp 20 juta per bulan per pelanggan. Nah, kalau nanti satu menara bisa disewa oleh empat pelanggan, tentu pemasukan Amal bakal lebih besar lagi.
Tapi, harga sewa yang dikenakan tentu juga bisa lebih murah. Makanya ide penggabungan penggunaan menara disambut hangat oleh sejumlah operator seluler. Herman Then Kek Khian, Head of Marketing PT Mobile-8 Telecom, menuturkan bahwa beleid itu bisa membuat biaya operasional perusahaannya menjadi lebih efisien.
Bambang Riadhy Oemar, Direktur Perencanaan dan Pengembangan Telkomsel, juga mendukung regulasi tersebut. Bahkan, kata Bambang, Telkomsel bisa melihat ini sebagai peluang bisnis. Menara-menara Telkomsel yang amat banyak itu bisa dijadikan sebagai menara bersama.
Namun, seiring dengan adanya rencana penerbitan beleid tadi, muncul kabar bahwa semua operator seluler akan dilarang memiliki menara sendiri. Mereka bahkan harus menjual menara miliknya sekarang kepada sejumlah perusahaan pengelola. Jadi, perusahaan pengelola itulah yang nantinya akan mengelola serta mengoperasikan menara BTS tersebut. Operator seluler tinggal membayar tarif yang ditentukan.
Syahdan, perusahaan-perusahaan pengelola itu sekarang sudah mencuri start untuk mendapatkan izin pengelolaan tadi. Kabarnya sih, jumlahnya tak lebih dari jumlah jari di satu tangan. Dan semuanya memiliki keterkaitan dengan sejumlah pejabat tinggi. Mereka inilah yang akan menguasai pasar menara seluler. Lo, bukankah semua itu harus lewat proses tender? ”Memang, tapi mereka sudah siap dari sekarang. Nanti pasti mereka yang akan dimenangkan dalam tender,” ujar seorang sumber.
Benar begitu? Mudah-mudahan saja tidak. Soalnya, akan banyak penolakan jika cara-cara kotor seperti tadi dipaksakan. ”Kami akan tetap mengembangkan jaringan menara sendiri jika beleid itu nantinya cenderung membuka praktik monopoli. Pasti juga tak ada operator yang mau,” ujar Bambang Riadhy. Tuh kan.... o 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar